Security Culture, Untuk Panjang Umur Perlawanan

Perjuangan, terutama dalam menghendaki adanya revolusi, bukanlah sebuah acara semalam suntuk yang kemudian akan terwujud di pagi hari. Perjuangan memerlukan waktu, usaha, dan tenaga yang tidak sedikit dari setiap orang yang merasa punya tanggung jawab untuk menuntutnya semustahil apapun itu. Untuk itu, adalah sebuah kesalahan fatal jika seorang pejuang tidak menerapkan security culture di setiap aksinya, apalagi jika hanya atas dasar agar terlihat “jantan” atau “berani”.

Tulisan kali ini akan memberikan ulasan singkat dan praktis tentang security culture, sebuah sikap dan kebiasaan yang menjadi senjata sekaligus pertahanan terbaik untuk memperpanjang usia perlawanan kita, khususnya di bawah tekanan penguasa yang tak segan melenyapkan kita untuk mewujudkan ambisi rakus mereka.

Apa itu security culture ?
Security culture, atau budaya aman, adalah sebuah sikap dimana kita memprioritaskan keamanan dan kerahasiaan identitas kita agar kita tidak menjadi sasaran empuk penguasa dan aparat saat mereka membutuhkan “tumbal”.

Apa tujuan dari security culture ?
Keamanan identitas akan membuat perjuangan dan perlawanan menjadi lebih lama. Karena saat penguasa membutuhkan tumbal untuk ditangkap atau dilenyapkan sebagai bukti supremasi mereka, tidak ada yang bisa ditangkap dari mereka yang menerapkan security culture di setiap aksi, karena tidak ada yang tahu siapa mereka, dimana mereka tinggal, dan kapan mereka akan bergerak lagi.

Apa yang harus diperhatikan dalam menjaga security culture ?
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga keamanan identitas, berikut ini beberapa hal yang dibuat secara ringkas dan bersifat praktis sehingga bisa langsung dipraktekkan saat ini juga.

  1. Gunakan nama alias.
    Nama asli tidak bisa diganti semudah itu dalam sebuah negara yang penuh dengan peraturan. Karena itu jangan pernah menggunakan nama asli kalian dalam setiap aksi yang berhubungan dengan perlawanan atau pemberontakan. Gunakan nama alias, yang tidak akan bisa ditemukan dalam setiap dokumen kalian atau di setiap profil kalian di internet. Gunakan nama alias tersebut untuk berkenalan, minta semua orang memanggil kalian dengan nama alias tersebut jika mereka tahu nama asli kalian.
  2. Tutup wajah dan jangan gunakan foto wajah asli.
    Berapa orang dari kalian yang tidak menggunakan penutup wajah saat melakukan aksi dan malah berpose ria ketika difoto saat orasi ? Bagus, kalian sudah membocorkan siapa diri kalian sendiri dan tinggal menunggu waktu bocornya identitas kawan seperjuangan lain yang bisa ditelusuri dari identitas kalian, seperti teman, tetangga, organisasi, kampus, dsb. Karena itu, tutup wajah kalian dan hindari menggunakan foto wajah asli saat beraksi atau membagikan kabar aksi.
  3. Hindari atribut spesifik.
    Dalam aksi anarkisme, adalah sebuah hal yang tabu untuk menyebut darimana asal kalian, lokasi atau organisasi. Hanya bendera hitam (atau sesuai sub fokus anarkisme seperti anarko-sindikalis atau egois-anarkis) yang menunjukkan identitas kalian sebagai anarkis yang sedang beraksi. Hindari atribut apapun yang bisa menunjukkan darimana kalian berasal seperti jaket bertuliskan nama organisasi, almamater kampus, atau bendera paguyuban kampung kalian.
    Semakin kalian menunjukkan darimana kalian berasal, maka semakin mudah menemukan kalian karena kalian telah memberikan target spesifik untuk para penguasa melancarkan aksi pencariannya, karena lebih mudah mencari seseorang di dalam satu kota daripada satu negara, dan lebih mudah mencari seseorang di dalam satu organisasi daripada satu provinsi, begitu seterusnya.
  4. Acak lokasi.
    Jangan terlalu terpaku dengan masterplan dari sebuah aksi. Buat aksi lain secara acak di lokasi yang acak pula. Saat sebuah aksi long march sudah mulai terpusat di satu lokasi, lakukan vandalisme di lokasi lain. Saat sebuah aksi orasi sudah terdengar di satu lokasi, lakukan long march di lokasi lain.
    Jangan biarkan aksi kalian terbaca, karena hanya dengan melihat pola, jadwal, lokasi, dan agenda aksi yang sedang berlangsung, kalian akan lebih mudah ditemukan karena bisa jadi ada aksi lain yang menampilkan identitas para anggotanya yang (kebetulan atau tidak) berlangsung bersamaan/menempel/ditempel dengan aksi kalian.
  5. Tinggalkan lokasi secepatnya dan hindari urusan personal.
    Pergi sejauh mungkin dari lokasi aksi sejenak setelah aksi dianggap selesai. Jangan habiskan waktu untuk mengobrol atau melakukan urusan personal di sekitar lokasi aksi, kalian tidak akan tahu kapan kalian bertemu kesialan setelah aksi. Adanya peserta aksi yang tertangkap dengan cepat umumnya karena mereka tidak segera meninggalkan lokasi aksi melainkan masih menghabiskan waktu mereka dengan berkumpul dan mengobrol di sekitar lokasi dengan masih menggunakan atribut aksi lengkap yang belum diganti, terlebih lagi mereka yang memiliki urusan personal seperti berkelahi atau reuni di lokasi aksi. Hal-hal seperti itu hanya akan memudahkan kalian untuk ditemukan dan dipelajari pola aksi kalian untuk digunakan oleh penguasa pada aksi berikutnya agar kalian semakin mudah ditemukan.
  6. Jangan berbagi kontak personal.
    Satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah jangan pernah membagi kontak personal kalian dengan siapapun. Jika kalian berkenalan dengan rekan baru, berikan kontak publik yang bisa kalian palsukan seperti media sosial atau alamat surat elektronik (e-mail). Jangan buat diri kalian mudah ditemukan dengan memberikan kontak yang tidak mungkin kalian buang (seperti nomor telepon yang juga digunakan untuk urusan kantor), itu hanya akan mempersulit kalian pada aksi-aksi berikutnya dan menjadikan kalian sasaran utama karena umumnya, kontak personal tidak akan berubah dalam waktu dekat.

Keenam hal tersebut adalah sebuah bentuk yang paling praktis dalam mengaplikasikan security culture pada kehidupan dan aktivitas kalian dalam berkolektif atau beraksi. Dengan menerapkan security culture tersebut, maka kalian telah meminimalisir peluang untuk ditemukan oleh penguasa, dan tentunya akan memberikan kalian kesempatan lebih lama dan lebih banyak untuk melakukan aksi berikutnya.

Apakah security culture di atas bisa diterapkan di era digital ?
Sangat bisa ! Jika kalian jeli, security culture yang telah disebutkan di atas banyak sekali menyebutkan tentang foto, identitas, atribut, dan lokasi yang umumnya ada pada halaman media sosial kalian apapun itu, yang sering kalian gunakan untuk pansos atau sekadar pamer, yang justru menunjukkan aktivitas keseharian kalian, pola hidup kalian, sampai dimana saja kalian menghabiskan waktu bersama kawan kalian sehingga memudahkan pelacakan.

Security culture di atas juga menyebutkan tentang meninggalkan lokasi aksi, menghindari urusan personal, dan tidak memberikan kontak personal. Tentu fenomena di media sosial seperti tidak meninggalkan thread setelah kalian menyuarakan aksi kalian, masih tetap berkomentar bahkan untuk hal-hal yang tidak penting di thread, bahkan berkenalan dengan orang baru, saling menambahkan pertemanan, bahkan memberikan kontak pribadi hanya karena kalian merasa nyaman dengan komentar mereka di thread kalian, adalah contoh dari menunjukkan identitas kalian yang sebenarnya yang bukan hanya mengancam kalian sendiri namun keseluruhan aksi, hindari hal-hal tersebut di media sosial dan kalian akan selamat dari pelacakan. Itu adalah beberapa contoh menerapkan security culture tersebut di media sosial.

Konklusi.
Jadi kembali lagi, security culture bukanlah tindakan pengecut, dan aksi perlawanan bukanlah ajang pansos. Percuma kalian melakukan aksi dengan membara hari ini tapi dilenyapkan seminggu kemudian, membuat aksi kalian berhenti dan justru menyebarkan ketakutan ke rekan seperjuangan lain karena kalian mudah sekali untuk ditemukan.

Ingat, perlawanan harus panjang dan tidak boleh berhenti. Kalian bukan pengecut, tapi kalian tahu bahwa perlawanan bukanlah sihir yang bisa dilakukan dan diwujudkan dalam semalam. Panjang umur para pembangkang, panjang umur perlawanan, panjang umur pemberontakan.


Riwayat Catatan :
29-05-2019. Pengubahan tampilan catatan.
02-03-2019. Penyalinan ke platform Noblogs.
21-02-2019. Penulisan pertama di platform Medium