Polisi, Perpecahan Dan Ketimpangan Supremasi

Polisi, penegak hukum, apapun namanya, yang dipercaya oleh pemerintah dan sistem untuk menegakkan apa yang mereka sebut hukum demi ketertiban, keamanan, dan entah alasan apa lagi yang mereka bawa.

Polisi, sejatinya adalah sebuah simbol perpecahan dalam masyarakat. Mengapa? Adalah karena polisi memiliki berbagai kuasa yang justru akan dianggap pelanggaran hukum jika kuasa itu dimiliki oleh masyarakat sipil biasa.

Jika mereka melarang kendaraan melaju melebihi batas kecepatan tertentu, apa kendaraan mereka pun memiliki batas kecepatan maksimal itu? Tidak, mereka bisa melanggar batas atas nama “tugas”.

Jika mereka melarang adanya penembakan oleh masyarakat sipil, apakah mereka tidak bisa menembak? Tidak, mereka bisa menembak atas nama “tugas”.

Kuasa melebihi masyarakat sipil biasa ini lah yang menjadikan polisi sebagai simbol perpecahan. Bagaimana mereka mengawasi sesamanya, bagaimana mereka memukul sesamanya, bagaimana mereka menembak sesamanya. Mereka berasal dari masyarakat sipil, tapi mereka menekan dan menetapkan batasan kepada masyarakat sipil.

Profesi polisi yang tidak mengalami rotasi bersama dengan masyarakat sipil lain juga makin memperparah keadaan ini. Apa kalian pernah melihat hari ini yang menjadi polisi adalah tetangga kalian, lalu besok yang menjadi polisi adalah kalian, besoknya lagi tetangga kalian yang lain? Tidak, polisi tidak mengenal rotasi di dalamnya. Hal ini menyebabkan polisi merasa memiliki supremasi di atas masyarakat sipil pada umumnya, merasa superior, merasa unggul, membuat kasta di antara masyarakat sipil, sehingga tercipta kelas baru atas nama “hukum”.

Ironisnya, para polisi seperti mengaminkan perpecahan ini dengan penuh kebanggaan bahwa derajat mereka ada di atas masyarakat sipil pada umumnya, merasa seakan-akan mereka adalah ras unggul di antara masyarakat tempat mereka berasal, yang membesarkan mereka. Lebih menyedihkan lagi mereka yang bukan polisi namun ikut mengaminkan kondisi ini dengan dalih bahwa tidak semua orang bisa menjadi polisi, tidak semua orang memiliki kelebihan seperti polisi, padahal mereka sadar bahwa polisi yang mereka kenal adalah orang yang dibesarkan bersama, di lingkungan yang sama seperti mereka. Bahkan tak jarang banyak orang yang melakukan cara kotor dan curang untuk bisa bergabung dengan kepolisian, dan ini bukanlah berita baru. Lantas kalian merasa lebih rendah dari polisi darimananya?

Terciptanya polisi adalah salah satu bentuk terciptanya kesenjangan dan ketimpangan sosial atas nama supremasi, menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat sendiri dengan adanya siapa yang berada pada kasta pengawas, kasta yang diawasi, dan kasta yang dihakimi.


“Caution : Police Line You Better Not Cross”
Is it the cop, or am I the one that’s really dangerous?

Green day – warning

Riwayat Catatan :
14-06-2019. Penambahan teks dan quote Green Day.
29-05-2019. Pengubahan tampilan.
10-04-2019. Penyalinan ke platform Noblogs.
06-04-2019. Penulisan pertama di platform Facebook.

Demokrasi Langsung Dalam Anarki

Esai singkat ini dibuat untuk menjawab salah satu pertanyaan yang paling sering muncul, yaitu “apakah demokrasi langsung bisa berjalan?”. Pertanyaan ini sebisa mungkin tidak akan dijawab dengan naif. Maka dari itu, kita akan bahas beberapa hal tentang demokrasi langsung khususnya di dalam lingkup anarki.

Mengenal Demokrasi Langsung.
Demokrasi langsung adalah sebuah bentuk pengambilan keputusan yang melibatkan semua individu yang berada di dalam sebuah kelompok. Mengapa dikatakan langsung adalah karena tidak adanya perwakilan untuk mengambil keputusan sehingga suara setiap individu terdengar dan semua bisa menggunakan haknya untuk bersuara tanpa terkecuali.

Demokrasi langsung ini bukanlah hal yang baru bagi manusia, penerapan paling kecil dari demokrasi langsung ini ada pada bentuk musyawarah, rapat keluarga, atau sekadar diskusi gamer yang sedang mabar, dimana mereka semua duduk bersama dan berbicara sesuai kehendak mereka.

Dalam kelompok anarkis yang mengedepankan kemerdekaan dan kebebasan individu, bentuk demokrasi langsung ini digunakan dalam setiap pengambilan keputusan, karena menjamin hak bersuara setiap individu tanpa adanya kepentingan atau tekanan dari individu lain yang bersembunyi di balik kedok “perwakilan suara”.

Demokrasi Langsung Dalam Kelompok Besar.
Hal yang mungkin diragukan dari demokrasi langsung mungkin adalah saat kelompok menjadi semakin besar, apakah masih bisa menjamin hak suara setiap individu. Memang dalam demokrasi langsung, bertambahnya jumlah individu di dalam sebuah kelompok berarti pengambilan keputusan akan menjadi semakin alot, karena bagaimanapun, demokrasi langsung akan membicarakan bagaimana setiap individu akan menjalani setiap harinya dalam kelompoknya, sehingga makin besar kelompoknya maka makin besar juga masalah yang harus diselesaikan.

Satu hal yang perlu diperhatikan terkait dengan hal ini adalah, demokrasi langsung tidak mengenal batas waktu. Berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di pemerintahan manapun dengan sistem perwakilan yang hanya melakukan diskusi di jam kerja dan terbatas waktu sekian jam. Dalam demokrasi langsung di dalam kelompok anarki, setiap individu yang terlibat akan melakukan diskusi dan pengambilan keputusan hingga tuntas, tidak peduli akan memakan waktu seharian sekalipun. Hal ini dilakukan untuk menjamin hak suara setiap individu, karena mereka semua akan berbicara.

Bagaimana jika semakin besar hingga ratusan atau ribuan orang? Disini ada sebuah pola alternatif yang juga digunakan oleh wilayah anarkis yang sudah berdiri. Kelompok besar tersebut akan memecah menjadi kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kesepakatan, dan mereka akan melakukan pengambilan keputusan dengan sistem demokrasi langsung di dalam kelompok-kelompok kecil tersebut. Kemudian hasil dari pengambilan keputusan tersebut akan disampaikan di satu kelompok khusus perwakilan tiap kelompok kecil, sehingga hasil demokrasi langsung tiap kelompok bisa disatukan.

Perwakilan yang dimaksud di dalam demokrasi langsung adalah perwakilan yang memiliki fungsi hanya sebagai penyampai pesan, bukan sebagai “wakil rakyat” yang akan mengambil keputusan seenaknya atas nama kelompoknya. Karena hanya berfungsi sebagai penyampai pesan, maka perwakilan kelompok ini tidak memiliki supremasi apapun atas individu di dalam kelompoknya, dia bukanlah pemimpin, dia bukanlah orang yang diunggulkan, dia bukanlah manusia super, dia hanya penyampai pesan yang “kebetulan” ditunjuk. Hal ini untuk menghindari adanya kepentingan dan kesewenangan yang terselip dalam demokrasi langsung hanya karena satu orang merasa “diunggulkan”. Karena itu pula, perwakilan ini akan dirotasi, siapapun akan berkesempatan menjadi perwakilan dalam kelompoknya.

Setelah setiap perwakilan saling menyampaikan hasil pengambilan keputusannya, maka mereka akan kembali ke kelompoknya masing-masing dan kembali mendiskusikan hasil dari pertemuan para perwakilan tadi, pola ini terus berulang hingga mendapatkan kesepakatan dari seluruh individu di dalam kelompok. Tentu ini berbeda dengan demokrasi yang dilakukan pemerintah negara dimana yang bersuara dan berdiskusi hanyalah “wakil rakyat” yang bahkan nggak pernah tahu rakyat yang mereka wakili itu bicara apa saja, sehingga hak berbicara tidak bisa dijamin.

Penutup.
Demokrasi langsung bukanlah sebuah bentuk absolut yang sudah menjamin kesempurnaan jalannya diskusi. Karena kita adalah manusia yang juga masih terus belajar untuk menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan individu, maka jalannya demokrasi langsung serta efisiensinya juga akan tetap berproses seiring dengan pendewasaan tiap individu yang terlibat di dalamnya. Maka daripada kita terus mempertanyakannya, mengapa tidak langsung melakukannya agar kita tahu realita penerapannya, karena aksi langsung lebih baik daripada terus bersembunyi di balik diskusi dan asumsi.